Selasa, 15 September 2015

Jagoan dari Gunung Minto Rogo




 Mgr. Dr. Leo Soekoto SJ


Kesan angker, nylekit, sinis, cepat marah, kurang sabaran, dan serius sering dilekatkan pada pribadi Mgr. Dr. Leo Soekoto SJ. Kesan-kesan yang bernada negatif ini beredar cukup santer di kalangan umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Penilaian umat tersebut merupakan kesan yang diperoleh dalam masa kegembalaan Mgr. Leo. Setelah mempelajari riwayat hidup dan kesaksian mengenainya, saya memutuskan untuk melihat kepribadiannya dengan teori psikologi analitis C.G. Jung. Harapan saya ialah dapat menemukan pandangan yang lebih ilmiah dan obyektif dari sudut pandang psikologi. Tulisan ini langsung memadukan antara kisah hidup dengan  teori kepribadian C.G. Jung secara naratif dan bukan dalam tulisan yang sangat sistematis.
  Mgr. Leo Soekoto lahir pada Sabtu Pahing, 23 Oktober 1920 di desa Jali, Prambanan Sleman. Dalam mitos setempat, bukit Mintorogo, tempat tinggal Soekoto adalah tempat keramat yang digunakan untuk nenepi (bertapa). Dalam kesendirian dan kepasarahan pada Sang Pencipta, orang mencari ngelmu dan aji-aji. Ia lahir dari keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Jawa. Soekoto kecil pernah mengalami ganti nama dari Soekarto menjadi Soekoto, ritual membuang sial[1], suka wayang, suka nembang (berdendang) dan sebagainya. Sementara itu, ia dibesarkan dalam keluarga desa yang terpandang. Ayahnya menjabat sebagai lurah. Famili dekatnya ada yang menjadi wedana dan carik. Sejak kecil, ia dikenal keras kepala. Oleh orang Jawa, orang yang lahir pada Sabtu Pahing memang akan keras kepala. Jadi, keluarganya memaklumi sifat Soekoto. Jika ia dimintai mainan, ia tidak akan memberikannya. Ia baru memberi mainan kalau sudah dirusakkannnya. Saat usia SD (sekolah ongko loro), ia suka menimbulkan debu di tanah ketika berjalan bersama teman. Kalau yang diganggu marah, ia malah mengepalkan tangan membentaknya, “Ayo. Omong  opo kowe?”[2]
Rasa independensi Soekoto  amat tinggi. Ia hampir selalu membuat keputusan mandiri dan berani/ tegas. Saat usia SD ia pernah minta berhenti sekolah dan mau menjadi penggembala kambing saja. Saat ia menjadi gembala, ia mengomando teman-temannnya untuk menjaga kambingnya. Ia sendiri hanya duduk-duduk saja. Ancaman Soekoto terdengar keras dan kasar bagi mereka. Ketegasan sikap dan kata-katanya amat mendominasi hidupnya. Ketika sudah menjadi uskup, ia diberi jadwal oleh sekretarisnya P. Martasudjita SJ. Ia malah protes padanya, ”Uskup kok diatur?” P. Martasudjita saat menjadi pastor paroki Cijantung ditawari menjadi sekretaris keuskupan. P. Marta berkata, ”Terima kasih, Monsinyur, saya lebih senang menjadi pastor paroki saja.” Tetapi Mgr. Leo menjawab lantang, ”Ini bukan soal senang atau tidak senang. Ini tugas penting.” Terhadap senior pun ia tetap bersikap tegas. Suatu ketika Kardinal Justinus Darmajuwana pernah ditegurnya ketika menceritakan kisah profanisasi iman yang mengganti anggur dengan minuman cola.
Di balik keberaniannya, sifat yang melekat sejak lama  dalam pribadi Mgr. Leo adalah pemalu. Ketika ia masuk seminari kecil di Yogyakarta ia masih telanjang kaki dan memakai bebedan (kain). Sementara, para temannya yang kebanyakan sinyo kaya sudah memakai sepatu. Sampai dengan masa tuanya, kalau ia berbicara tidak pernah memandang lawan bicara. Ketika ia ditanya, ”Lho, Anda ini Doktor kok minder?” Jawabnya singkat, ”Lha perasaan kok, gimana menghindarinya?” Dalam perkenalan dengan orang baru, ia kelihatan sama sekali tidak berminat dengan lawan bicara dan bersikap begitu dingin, acuh tak acuh, apalagi berbicara. Ketika ia menyampaikan homili, suaranya jernih dan bagus. Akan tetapi, ia jarang menatap muka umat.
Mgr. Leo menunjukkan tipe kepribadian yang dalam Jung disebut sebagai introvert. Pribadi introvert berfokus pada pengalaman subyektif. Pusat perhatiannya ada pada dunia privat dimana kenyataan dihadirkan sebagaimana dilihat oleh dirinya. Mgr. Leo paling kerasan berada dalam dirinya sendiri. Pribadi introvert akan sibuk dengan perkara dirinya. Dari luar ia tampak seperti pribadi jauh, tak peduli, bahkan anti sosial. Ia merasa menjadi diri sendiri saat berada sendirian atau bersama sahabat dekatnya saja. Ia cenderung diam dan dingin ketika berhadapan dengan situasi ramai. Diam dalam kepribadian introvert artinya seseorang membutuhkan waktu untuk melakukan transisi dari situasi eksternal ke situasi lainnya. Ia akan ‘mundur’ untuk mempertimbangkan situasi dan mencari tanggapan yang sesuai. Hal ini sudah kelihatan dengan jelas saat ia belajar di Hollandshe Indische School I Bruderan di Yogyakarta. Ia tingggal di keluarga Soemaatmadja. Disana ia sering mangajari putra-putri Soemaatmadja tetapi ia merasa terganggu jika mereka berisik dalam belajar. Soekoto kecil amat jengkel dan tidak suka meski ia tidak menyatakan secara langsung. Terkadang bukunya sendiri dibanting di meja dan menggerutu, ”Huh, sinau kok ora mlebu-mlebu.”[3] Tentu saja, introversi Mgr. Leo ini mengundang potensial konflik dengan orang lain. Suatu ketika ia ditegur oleh Menteri Agama karena saat rapat koordinasi dengan presiden dan ulama, Mgr. Leo duduk dengan kedua belah tangan menyangga rahang (Jw. sangga wang). Ia sedang tidak nyaman dengan situasi rapat ini. Lain waktu, ketika ia bosan dengan upacara dan pesta penahbisan uskup, ia mengajak teman dekatnya membakar sate. Pesannya, “Wah bosen aku, pesta-pesta wae. Ayo pada nyate. Mrenea. Nganggo Sarung wae” [4] Kalau ia senang sekali akan menjadi relaks. Tetapi jika acaranya resmi, ia akan cenderung tegang sekali. Dalam kesempatan santai, misalnya pada sat makan bersama di wisma, ia sangat ramah. Ia sangat senang makan sayur lodeh, urap gudeg, dan buah-buahan. Selama makan, ia banyak menceritakan hal lucu atau mengejek orang. Ia pun senang kalau diledek kembali.
Jung berbicara mengenai fungsi psikologi manusia. Ada empat fungsi psikologi fundamental. Ia membedakan antara thinking, feeling, sensing, dan intuitung. Mgr. Leo dapat dimasukkan sebagai pribadi yang thinking. Ia adalah pribadi yang berpikir dengan melibatkan ide dan intelek.  Dengan berpikir, ia berusaha melihat hakikat dunia dan dirinya sendiri. Ketika ia berhadapan dengan ia adalah seorang guru yang lebih banyak bertanya daripada menggurui. Ia mengajak orang berpikir analitis dan kritis. Ia ingin mendorong murid supaya menjadi seseorang yang bermakna karena dirinya sendiri dan bisa mempertanggungjawabkan keberadaannya. Pada waktu bersekolah di HIS di Yogyakarta, ia suka menyendiri sambil membaca buku. Ia tidak suka bermain atau keluyuran ke rumah tetangga. Ia tidak begitu suka dengan olah raga. Minatnya ialah aktivitas yang memakai otak, seperti catur. Ia termasuk jarang menonton televisi. Tayangan yang dilihatnya ialah siaran berita. Acara hiburannya ialah pentas lawak Srimulat dan serial Dokter Sartika. Saat ia sudah terkena sakit punggung, dengan mengesampingkan perasaan dan kondisi fisiknya ia tidak mau mengganti mobil. Diperlukan perdebatan rumit supaya ia mau berganti mobil demi kesehatannya. Ia lebih percaya kepada pikirannya bahwa mobil masih pantas dipakai, bukan perasaan dan kenyataan bahwa sakit punggungnya makin parah. Kepribadian thinking­ nya yang mambuat ia meneruskan sekolah karena ingin bisa berbahasa Belanda. Ia ingin bisa mengikuti pembicaraan kakak dan saudara-saudaranya yang fasih berbahasa Belanda. Dengan kepribadian thinking­ yang kuat ia tidak begitu mengalami kesulitan dalam studi dan bahkan akhirnya menjadi Doktor Moral. Dengan kepribadian thinking­ yang amat kuat pula ia selalu bicara dengan lurus, jujur, dan apa adanya, bahkan oleh sementara orang dinilai kaku dan dingin.  Ia melampaui apriori-apriori umat mengenai bagaimana uskup seharusnya. Ia menciptakan karakternya bukan berdasarkan apa yang harus ia perbuat melainkan apa yang ia percaya.
Konsistennya kepribadian Mgr. Leo ini dibawa dalam masa sehat maupun sakit, saat masih muda maupun sudah tua. Ia menderita sakit Morbus Kahler[5] dan untuk jangka waktau yang lama harus dirawat di RS Carolus. Ia masih mengadakan rapat dengan para stafnya dengan cara berbaring. Ia masih saja marah-marah dan kurang sabar. Hingga ada angota rapat yang menyeletuk, ”Meski sakit pun Uskup kita bisa marah. Memang, kalau nggak marah namanya bukan Leo Soekoto.”
Pasangan antara Introvert dengan Thinking ditandai dengan kecenderungan untuk tidak mudah percaya, kadang menderita perasaan rendah riri, gampang cemburu, dan iri hati. Ia menghadapi dunia luar dengan sistem pertahanan diri yang sistematis, tampak sebagai ilmuwan, cermat, berhati-hati, menurut kata hati, sopan santun, dan penuh curiga. Orang ini akan menekan emosi, kelihatan dingin, dan cenderung mengkritik sebagai jalan menuju perkembangan hidup. Tipe ini ingin menegakkan kebenaran, idealisme, dan kemudian menjadi sangat kompleks (rumit). Jika mau menyederhanakan argumentasinya, maka pikiran-pikirannya akan dipahami dan diterima secara luas.
Tabel Tipologi Jung dalam pribadi Mgr. Leo Soekoto
Sikap Jiwa
Fungsi Jiwa
Tipe
Ketidaksadarannya
Introvert
Pikiran
Introvert- Thinking
Ekstrovert- feeling

Berbicara mengenai Jung tidak bisa meningalkan konsepnya mengenai arketip. Gagasan dasarnya ialah gabungan antara teleologi dengan kausalitas. Tingkah laku manusia tidak hanya ditentukan oleh sejarah individu dan dan ras tetapi juga oleh aspirasi dan tujuan hidup. Jung mengatakan ”orang hidup dibimbing oleh tujuan-tujuan maupun sebab-sebab.”Juang dengan demikian menekankan asal-susl kepribadian pada ras. Soekoto lahir dalam masyarakat berbudaya Jawa yang kental di perbatasan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Secara bawaan, ia mewarisi tipikal orang Jawa yang menjaga nilai hormat, rukun, dan keselarasan. Konsep kepemimpinan diwarnai dengan keselarasan dan keseimbangan. Maka, dalam kepemimpinan terasa ’alon-alon waton kelakon’ tetapi mantap. Ia tenang dan tidak menggebu-gebu serta bisa menyelesaikan permasalahan besar. Dalam karya penggembalaan, gaya dan gagasan tulisan Mgr. Leo, misalnya dalam Surat Gembala Prapaskah,   mengungkapkan nilai-nilai luhur yang dijunjung masyarakat Jawa seperti kerukunan, tepa slira, perdamaian, dan sebagainya. Jung menyebut istilah ketidaksadaran kolektif untuk membahasan mengenai bekas ingatan yang diwariskan dari masa lampau leluhur. Masa lampau ini meliputi sejarah ras manusia dan bisa dihidupkan kembali secara tidak sadar. Kerinduan orang-orang Jawa untuk mengolah hal-hal batin, privat dengan cara semadi atau nenepi terwujud dalam sikap Mgr. Leo yang suka bermenung, menyendiri, dan ke arah reflektif. Ia hidup dan dibesarkan dalam masyarakat yang mengagumi hal-hal seperti ini karena tidak jauh dari rumahnya terdapat bukit Mintorogo. Bukit itu seperti sudah dijelaskan di depan dianggap bukit yang mistis atau keramat, tempat bertemunya sang pencipta dengan Sang Ada.
Orang Jawa menjujung tinggi keluwesan. Akan tetapi, Mgr. Leo oleh banyak orang dinilai kurang Njawani. Mgr. Leo tidak seperti orang Jawa, khususnya Jogja, yang biasanya halus, luwes, dan tidak mudah terbuka. Rasionalitasnya seperti orang Barat. Barangkali ini karena pengaruh pendidikannya luar negeri. Lingkungan pendidikan di Belanda dan Roma diwarnai alam pikir rasional. Pendidikan novisiat SJ di Girisonta pada masa pra-Vatikan II masih kental dengan aturan kebiaraan, regula-regula yang ketat, bahasa setiap hari ialah bahasa Latin dan Belanda. Apalagi ia mengalami pendidikan pada masa perang dan  mengalami kamp internir. Sikap tegas dan siap sedia membuat keputusan taktis dan strategis amat dibutuhkan karena situasi benar-benar genting. Pembentukan kepribadian Mgr. Leo juga bisa dilihat dari latar belakang keluarga, terutama ayah. Ayahynya sadar sebagai tokoh yang dituakan oleh masyarakat, apalagi ia juga memahami ajaran gereja, maka ia harus memegang teguh dan menjunjung tinggi norma-norma dan etika hidup yang baik. Konsekuensinya ialah ia tidak bisa melihat, apalagi berkompromi dengan hal-hal yang bertentangan dengan norma dan etika yang diyakini. Seorang Lurah haruslah kuat dalam pandangan hidup dan konsistensinya. Memang, jabatan lurah pada masyarakat Jawa tradisional bukan dalam arti politis-legal-rasional melainkan jabatan kharismatis dan merupakan pengemban amanat seluruh warga. Berdasrkan faktor pembentukan kepribadian di atas, Mgr. Leo kemudian mengenalnya sebagai orang yang bicara tanpa tedeng aling-aling dan kadang-kadang dengan nada tinggi. Gayanya itu perlu dibaca sebagai kuatnya unsur rasionalitas Mgr. Leo. Kepribadian pemikir memang khas. Ia cenderung melihat dalam cahaya akal budi dan logika. Dengan inteleknya (yang biasanya tinggi), mereka akan menghargai hal yang masuk akal. Ia adalah orang yang berani berdebat dan mengadu argumen. Ia suka menantang anak buahnya berpikir dengan matang sebelum mengajukan usul. Ia tidak suka pada umat dan anak buah yang bicara sembarangan, bertele-tele, atau yang berucap dahulu tanpa berpikir. Karena dominan dalam perkara kognitif, maka mereka memandang emosi mereka dan emosi orang lain sebagai hal yang kurang penting. Yang potensial menimbulkan konflik ialah ketika keputusannya tidak memperhitungkan perasaan orang lain dan memandang bahwa emosi lebih dipandang sebagai masalah daripada bagian penyelesaian suatu perkara. 
Ada kalanya ia ’keluar’ dari konsep-konsep umum manusia Jawa. Dalam berhadapan dengan umat yang non Jawa, ia memakai cara yang non Jawa: langsung dan terus terang. Ia pernah menegur karyawannya, ”Johan, kami bukan seorang ahli teologi. Kau cuma seorang karyawan keuskupan” Jakarta sebagai kota metropolitan berarti kota multirasial dan multiultural. Mgr. Leo memimpin umat Jawa, Batak, Flores, Dayak, Ambon, manado, keturunan Tionghoa,. Ini menuntut keterampilan atau manajemen yang tinggi dan memadai. Pembesar Negara mengeluh mengenai sikap Mgr. Leo sebagai orang Jawa yang kurang Jawanya. Pendekatan dengan cara Jawa saja membawa risiko bagi kepemimpinan Mgr. Leo. Ia sendiri pernah mengungkapkan sendiri bahwa ia bukan saja kurang Jawanya, tetapi uskup yang paling Flores di antara uskup Flores karena sikap keterbukaan, terus terang, kerasa, dan kritis. Dapat juga dikatakan, bahwa ia bukan orang yang sukuis, tidak mengagung-agungkan kesukuannya dan memandang rendah suku lain. Hal ini menjadi modal kuat dalam karya pastoral. Dari sini kelihatan bahwa Mgr. Leo dibawa oleh aspek teleologisnya, yakni yang memuat tujuan-tujuan dan aspirasi-aspirasi. Ia menunjung tinggi nilai objektivitas, pertimbangan matang, dan argumen yang mendasar. Visi hidupnya bisa dibaca dari motto kegembalaannya, scio cui credidi (2 Tim 1:2)[6].  Dengan motto itu, ia memperjuangkan nilai-nilai dari yang bersifat praktis, moralistis, sampai yang religius. Macam-macam hal yang ia percayai secara kuat antara lain seperti  Tuhan. Ia dibentuk dalam tradisi Ignatian yaitu Latihan Rohani St. Ignatius. Pengalaman akan Allah yang kokoh dan mendalam turut berperan dalam cara ia beriman dan hidup. Allah macam apa yang ia imani menentukan apa dan bagaimana ia bersikap.  Selain itu ia percaya akan apa yang ia pelajari dalam bidang hukum moral. Sebagai pemegang ajaran moral, maka ia mesti tegas, jernih, dan tajam dalam melihat persoalan. Mengajarkan moral adalah mengajarkan kepastian di tengah ketidakpastian, mencari kejernihan di dalam Hal serupa kita jumpai pada Joseph Cardinal Ratzinger ketika ia menjadi praefek Kongregasi Ajaran Iman. Mempertahankan iman dan moral tentu tidak bisa dilakukan dengan santai-santai saja. Dari beberapa uraian di atas, tampak ada tegangan antara aspek kausalitas yang dicitrakan bahwa orang Jawa itu harus sabar, lemah lembut, dan tidak suka terus terang. Tegangan ini menandakan bahwa kepribadian manusia itu khas, unik, dan berkembang dinamis seturut apa yang dibawanya dan yang hendak dicapainya. Jung mengatakan bahwa arketip tidak harus terpisah dari satu dengan yang lain. Ada kalanya mereka saling meresapi dan berfusi. Dalam filsafat Yunani, konsep arketip Jung dapat dibandingkan dengan gagasan Plato mengenai ”idea.” Ada idea kepahlawanan yang berciri rela berkorban, berani, gigih, berjiwa kepemimpinan, dan setia pada kebenaran dalam diri Mgr. Leo. Ada pula idea kependetaan  yang terwujud dalam sikapnya sebagai gembala umat, pemimpin jemaat, pribadi yang memiliki sikap arif dan bijaksana.
Apa yang diuraikan di atas merupakan penjabaran dari gagasan ketidaksadaran kolektif Jung. Arketip berada dalam ketidaksadaran ini. Jung memberikan penjelasan bahwa arketip ini merupakan bentuk pendapat dan reaksi instingtif terhadap situasi tertentu di luar kesadaran. Arketip ada sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadaran kolektif. Arketip ini menjadi pusat serta medan tenaga dari ketidaksadaran manusia. Arketip bisa dikembangkan lebih luas yakni tentang kelahiran, kematian, Tuhan, kekuasaan, kepahlawanan, dan lain-lain. Beberapa arketip yang dominan seakan terpisah dari kumpulan arketip lainnya dan membentuk satu sistem sendiri. Arketip dominan terdiri dari persona, anima-animus, shadow, dan self.
Perkembangan diri manusia dalam masyarakat membawanya pada kompromi antara dirinya sendiri dengan apa yang diharapkan/ dituntut oleh masyarakatnya. Di tengahnya terdapat pembentukan persona. Persona[7] adalah topeng yang dipakai manusia sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat, serta terhadap kebutuhan-kebutuhan arketip sendiri. Manusia diajak bermain peran ibarat memainkan peran tertentu dalam teater sebagaimana dituntut sutradara. Meski berbeda/ berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh pribadi itu, tetapi orang memandang persona sebagai sebuah kebutuhan. Sebab, dengan persona itu kita berhubungan dengan dunia. Tujuan persona adalah menciptakan kesan tertentu pada orang lain dan seringkali (meski tidak selalu) untuk menyembunyikan hakikat sang pribadi yang sebenarnya. Tuntutan sosial yang dikenakan umat kepada Mgr. Leo sebagai imam kemudian uskup ada yang berseberangan dengan Mgr. Leo. Peran gembala umat mengharuskan ia bertemu dan bekerja dengan aneka macam orang. Ada banyak publik menantinya, sementara ia orang yang cenderung tertuju kepada dirinya sendiri. Padahal karakteristik introvert ialah semakin banyak orang semakin banyak daya tolaknya. Sebagai imam, ia mesti membawakan figur pater, pastor, imam, bapa, romo, yang dalam konsep masyarakat cenderung diasosiasikan dengan kebapakan, arif, komunikatif. Mgr. Leo mengenakan personanya sebagai hubungannya dengan dunia yang dilayaninya.
Anima-animus merupakan elemen kepribadian yang secara psikologis berpengaruh terhadap sifat biseksual manusia dan memungkinkan berhubungan dengan lawan jenis. Anima adalah arketip sifat kewanitaan (feminin) pada laki-laki sedangkan  animus adalah arketip sifat kelelakian (maskulin) pada perempuan. Anima-animus berkedudukan sebagai perantara aku dengan dunia dalam. Makin kaku persona, makin rendah diferensiasi anima dan animus. Karena hidup bersama dengan wanita selama berabad-abad, maka pria menjadi lebih feminim. Dalam kepribadian Mgr. Leo, kita bisa melihat bagaimana ia sebagai gembala umat menunjukkan ciri-ciri feminimnya. Relasi dengan ibu-ibu Marriage Encounter (ME) dan Wanita Katolik (WK) yang dilayaninya menjadi lebih mudah karena ia menghidupi anima-nya. Terjadi kompromi dalam dirinya antara tuntutan-tuntutan ketidaksadaran kolektif dan aktualitas dunia luar agar terjadi penyesuaian yang baik. Rm. Th. Prajitno SJ memberi kesaksian bahwa dengan ME ada perubahan dalam diri Mgr. Leo. Paling tidak, ia menjadi semakin tidak kaku dan berusaha memahami berbagai persoalan yang muncul dalam keluarga.[8]
Tidak sepenuhnya manusia hidup dalam kebaikan. Ada sisi kekurangan yang tidak disadari oleh manusia. Shadow (bayang-bayang) adalah arketip yang terdiri dari insting-insting binatang yang diwarisi manusia dalam evolusinya dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah ke bentuk yang lebih tinggi. Manusia sebagai animal rationale¸ masih mewarisi perilaku agresivitas. Dengan berkembangnya budi, maka agresivitas berkembang ke arah yang lebih tertata. Mgr. Leo adalah seorang dengan kepribadian yang keras dan ’agresif’. Agresivitasnya nampak dalam masa kecilnya yang nakal, mengganggui teman, suka mendominasi dan memerintah, hendak memukul orang, dan sikapnya yang suka berdebat. Dengan berkembangnya intelektualitasnya, ia mengarahkan insting warisan ini dengan keberaniannya dan ketajamannya dalam mengkritik atau berpendapat. 
Ada saat dimana kepribadian manusia menjadi stabil. Sebagaimana diketahui bahwa ciri utama psikologi Jung adalah perkembangan ke arah yang stabil. Biasanya ini diperoleh ketika manusia sudah memasuki usia setengah baya. Dengan self kepribadian manusia menjadi terintegrasi, seimbang, dan stabil. Self adalah tujuan hidup, tujuan yang terus-menerus diperjuangkan seorang manusia tetapi jarang tercapai. Pengalaman-pengalaman religius sejati merupakan bentuk pengalaman yang paling dekat dengan self . Pada masa setelah setengah baya, orang mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengubah pusat kepribadiannya dari ego sadar ke ego yang berada di antara kesadaran dan ketidaksadaran. Hal ini yang dirasakan oleh sementara umat, berdasarkan kesaksian-kesaksian mengenai Mgr. Leo. Ia mampu berada di antara umat dengan luwes; berada di antara tuntutan hierarkis-fungsional-sosial dengan ke-diri-annya. Mgr. Leo menerima keadaannya yang suka kesendirian dan mau berdamai dengan tuntutan publik. Oleh Jung, integrasi ini bisa disebabkan karena latar belakang spiritual. Dalam tahap kehidupan menurut Jung, usia setengah baya adalah waktu untuk merealisasikan diri. Ada keutuhan diri setelah kenyang dengan aneka macam ’eksplorasi.’ Dalam arti tertentu, kepribadian sudah menjadi mantap, kokoh. Dari pihak luar, hal ini kelihatan dari nilai-nilai dan aspirasi yang diperjuangkan Mgr. Leo dapat diterima oleh umat. Ada apresiasi umat terhadap pencarian dan pertumbuhan Mgr. Leo sebagai pribadi. Motto scio cui credidi akhirnya juga diletakkan oleh Mgr. Leo dalam kepercayaannya terhadap umat. Ada gerak bersama dan sinergis untuk membangun Keuskupan Agung Jakarta dan menjadikannya sebagai Kerajaan Allah di dunia. Umat dilihat sebagai representasi Allah, ciptaan Allah yang mesti dibawa kepada tujuan paripurna yang tertinggi, yakni mengabdi, memuji, dan memuliakan Tuhan.
Pribadi manusia berkembang menurut tujuan dan sejarah hidupnya. Mgr. Leo sebagai pribadi tidak lepas dari kekurangan dan kelebihan. Pemahaman setengah-setengah atau sebatas kesan saja tidak membantu kita untuk mengenalnya. Sebagai manusia, Mgr. Leo tidak serta merta jadi (tercapainya finalitas pembentukan). Dalam diri Mgr. Leo terdapat perkembangan ke arah kepenuhan dan kematangan kepribadian, yaitu dalam individuasinya. Tulisan dan komentar yang dibuat untuknya menyiratkan bahwa ia adalah orang yang berproses dan membuat orang lain turut berproses. Umat mulai menangkap unsur formatif dalam ucapan dan tindakannya. Proses menuju integralnya kepribadian itu unik.
Scio cui credidi, aku tahu kepada siapa aku percaya. Motto ini menjadi filosofi yang terus dihidupinya. Jika ditafsirkan, salah satu kepercayaan itu ialah kepercayaan terhadap kepenuhan individu (diri, self) nya. Seorang gembala umat adalah orang yang menaruh kepercayaan, baik kepada Tuhan, umat yang dilayani, maupun dirinya sendiri. Analisis dari Jung di sini dapat dibaca sebagai bagaimana proses seseorang menjadi dirinya sendiri. Tulisan singkat ini kiranya dapat menyumbang pemahaman lebih mendalam bagi siapa saja yang berminat mengenal kepribadian Mgr. Leo Soekoto SJ, seorang putra desa yang menjadi ’singa’ KAJ.



[1] Soekoto kecil dengan nama Soekarto mengalami rabun senja dan sering sakit-sakitan. Ia mengalami upacara membuang sial dengan cara dikukus dengan api dari seikat merang ketan hitam. Ia diangkat dan dimasukan dalam kurungan ayam dan kepalanya diserempetkan dengan ulek-ulek. Sakitnya pun lantas hilang.
[2] Terjemahan Indonesia ”Hayo! Bicara apa kamu?”
[3] Terjemahan Indonesia “Huh, sudah belajar kok tidak paham juga.”
[4] Terjemahan Indonesia. “ Ah. Saya bosan sekali. Dari tadi acaranya pesta melulu. Mari kita bakar sate saja. Datanglah ke sini. Pakai sarung saja.”
[5] Morbus Kahler atau Multiple myeloma yang disebut juga  plasmacytoma adalah degenerasi ganas dari plasma sel. Reproduksi dari sel-sel di sumsum tulang mendapat dari kontrol. Penderita akan merasa kesakitan untuk duduk atau berdiri.
[6] Aku tahu kepada siapa aku percaya. Motto ini menandakan pentingnya iman kepercayaan bukan hanya kepada orang atau penguasa duniawi, tetapi lebih-lebih kepada Allah sendiri.
[7] Persona dari bahasa Latin yang artinya topeng yang dipakai pada masa Romawi dalam permainan drama. Barat telanjur menyempitkan makna persona menjadi manusia perseorangan, tetapi jung memakai persona sesuai dengan makna kata aslinya.
[8] Salah seorang ibu memberi kesaksian mengenai kemurahan dan kelembutan hati Mgr. Leo atas kesalahan penyelenggaraan program WKRI. Ibu itu sudah siap kalau-kalau dimarahi habis-habisan, akan tetaapi Mgr. Leo menjawab, ”Sudah, ibu tidak usah khawatir, saya sudah makan sesampai di jakarta dan saya segar bugar, untuk membahagiakan 4000 orang tentu harus ada pengorbanan, ya saya ini kurbannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar