Selasa, 15 September 2015
PERLUNYA GERAKAN DONASI PENDIDIKAN UNTUK SD KANISIUS KERTEN
SD Kanisius Kerten yang masih eksis saat ini , merupakan lembaga pendidikan yang sangat membanggakan. Pendidikan Dasar adalah pendidikan fundamental bagi anak – anak untuk membentuk diri menjadi orang yang berkarakter. Hal yang membanggakan di sekolah ini kedisiplinan dan pendampingan pendidikan berkarakter masih diterapakan.
SDK
Kanisius juga masih aktif dalam mengikuti perkembangan Gereja Paroki Dalem
dengan melaksankan tugas – tugas gereja bagi Siswa – siswi serta Bapak Ibu
Guru.
Di
tempat inilah kita para alumni SD Kanisius pernah mengalami pendidikan karakter
dari Bapak Ibu Guru yang dengan sepenuh hati membentuk kita sebagai pribadi –
pribadi yang tangguh. Mungkin Bapak Ibu Guru yang mengajar kita ada beberapa
yang masih Hidup,namun sudah memasuki pensiun dan sudah ada yang menghadap ke
hadirat yang Maha Kuasa.
Dan
saat ini SD Kanisius dilanjutkan oleh Bapak Ibu Guru yang muda – muda dan masih
semangat utuk mendampingi anak – anak, meski tidak menerima gaji dari yayasan
manapun, dengan financial seadanya Bapak Ibu Guru dengan semangat berkobar
meneruskan kelangsungan SD Kanisius yang sangat bersejarah. Dari Sekolah ini
telah melahirkan orang – orang hebat, Ada yang jadi Pengusaha, Dosen, Guru,
Tokoh Imam dan masih banyak profesi yang lain.
Sekolah
yang berdiri sejak Tahun 1935 ini menjadi tanggung jawab kita semua terutama
masyarakat di Lingkungan sekitar untuk tetap peduli dan mau mempertahankan
keberadaan SD Kanisius Kerten ini, Kepedulian ini dapat diwujudkan dengan mau
mepercayakan putra dan putri kita untuk bersekolah di SD Kanisius Kerten, Dapat
pula dengan diwujudkan dengan gerakan donasi yang berupa dana untuk mendukung
kegiatan belajar mengajar di SD Kanisius.
Blog
ini saya buat untuk mengerakan kepedulian kita para alumni untuk ikut
bertanggung jawab atas eksistensi sekolah SD Kanisius Kerten.
Jagoan dari Gunung Minto Rogo
Mgr. Dr. Leo Soekoto SJ
Kesan angker, nylekit,
sinis, cepat marah, kurang sabaran, dan serius sering dilekatkan pada pribadi
Mgr. Dr. Leo Soekoto SJ. Kesan-kesan yang bernada negatif ini beredar cukup
santer di kalangan umat Katolik Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Penilaian umat
tersebut merupakan kesan yang diperoleh dalam masa kegembalaan Mgr. Leo.
Setelah mempelajari riwayat hidup dan kesaksian mengenainya, saya memutuskan
untuk melihat kepribadiannya dengan teori psikologi analitis C.G. Jung. Harapan
saya ialah dapat menemukan pandangan yang lebih ilmiah dan obyektif dari sudut
pandang psikologi. Tulisan ini langsung memadukan antara kisah hidup
dengan teori kepribadian C.G. Jung
secara naratif dan bukan dalam tulisan yang sangat sistematis.
Mgr. Leo Soekoto lahir pada Sabtu Pahing, 23
Oktober 1920 di desa Jali, Prambanan Sleman. Dalam mitos setempat, bukit
Mintorogo, tempat tinggal Soekoto adalah tempat keramat yang digunakan untuk nenepi (bertapa). Dalam kesendirian dan
kepasarahan pada Sang Pencipta, orang mencari ngelmu dan aji-aji. Ia lahir dari keluarga yang menjunjung tinggi
nilai-nilai budaya Jawa. Soekoto kecil pernah mengalami ganti nama dari
Soekarto menjadi Soekoto, ritual membuang sial[1],
suka wayang, suka nembang (berdendang) dan sebagainya. Sementara itu, ia
dibesarkan dalam keluarga desa yang terpandang. Ayahnya menjabat sebagai lurah.
Famili dekatnya ada yang menjadi wedana
dan carik. Sejak kecil, ia dikenal
keras kepala. Oleh orang Jawa, orang yang lahir pada Sabtu Pahing memang akan
keras kepala. Jadi, keluarganya memaklumi sifat Soekoto. Jika ia dimintai
mainan, ia tidak akan memberikannya. Ia baru memberi mainan kalau sudah
dirusakkannnya. Saat usia SD (sekolah ongko
loro), ia suka menimbulkan debu di tanah ketika berjalan bersama teman.
Kalau yang diganggu marah, ia malah mengepalkan tangan membentaknya, “Ayo. Omong
opo kowe?”[2]
Rasa independensi Soekoto amat tinggi. Ia hampir selalu membuat
keputusan mandiri dan berani/ tegas. Saat usia SD ia pernah minta berhenti
sekolah dan mau menjadi penggembala kambing saja. Saat ia menjadi gembala, ia
mengomando teman-temannnya untuk menjaga kambingnya. Ia sendiri hanya
duduk-duduk saja. Ancaman Soekoto terdengar keras dan kasar bagi mereka.
Ketegasan sikap dan kata-katanya amat mendominasi hidupnya. Ketika sudah
menjadi uskup, ia diberi jadwal oleh sekretarisnya P. Martasudjita SJ. Ia malah
protes padanya, ”Uskup kok diatur?”
P. Martasudjita saat menjadi pastor paroki Cijantung ditawari menjadi
sekretaris keuskupan. P. Marta berkata, ”Terima kasih, Monsinyur, saya lebih
senang menjadi pastor paroki saja.” Tetapi Mgr. Leo menjawab lantang, ”Ini
bukan soal senang atau tidak senang. Ini tugas penting.” Terhadap senior pun ia
tetap bersikap tegas. Suatu ketika Kardinal Justinus Darmajuwana pernah
ditegurnya ketika menceritakan kisah profanisasi iman yang mengganti anggur
dengan minuman cola.
Di balik keberaniannya, sifat yang melekat sejak
lama dalam pribadi Mgr. Leo adalah
pemalu. Ketika ia masuk seminari kecil di Yogyakarta ia masih telanjang kaki
dan memakai bebedan (kain).
Sementara, para temannya yang kebanyakan sinyo kaya sudah memakai sepatu.
Sampai dengan masa tuanya, kalau ia berbicara tidak pernah memandang lawan
bicara. Ketika ia ditanya, ”Lho, Anda
ini Doktor kok minder?” Jawabnya
singkat, ”Lha perasaan kok, gimana
menghindarinya?” Dalam perkenalan dengan orang baru, ia kelihatan sama sekali
tidak berminat dengan lawan bicara dan bersikap begitu dingin, acuh tak acuh,
apalagi berbicara. Ketika ia menyampaikan homili, suaranya jernih dan bagus.
Akan tetapi, ia jarang menatap muka umat.
Mgr. Leo menunjukkan tipe kepribadian yang dalam
Jung disebut sebagai introvert.
Pribadi introvert berfokus pada pengalaman subyektif. Pusat perhatiannya ada
pada dunia privat dimana kenyataan dihadirkan sebagaimana dilihat oleh dirinya.
Mgr. Leo paling kerasan berada dalam dirinya sendiri. Pribadi introvert akan
sibuk dengan perkara dirinya. Dari luar ia tampak seperti pribadi jauh, tak
peduli, bahkan anti sosial. Ia merasa menjadi diri sendiri saat berada
sendirian atau bersama sahabat dekatnya saja. Ia cenderung diam dan dingin
ketika berhadapan dengan situasi ramai. Diam dalam kepribadian introvert
artinya seseorang membutuhkan waktu untuk melakukan transisi dari situasi
eksternal ke situasi lainnya. Ia akan ‘mundur’ untuk mempertimbangkan situasi
dan mencari tanggapan yang sesuai. Hal ini sudah kelihatan dengan jelas saat ia
belajar di Hollandshe Indische School I Bruderan di Yogyakarta. Ia tingggal di
keluarga Soemaatmadja. Disana ia sering mangajari putra-putri Soemaatmadja
tetapi ia merasa terganggu jika mereka berisik dalam belajar. Soekoto kecil
amat jengkel dan tidak suka meski ia tidak menyatakan secara langsung.
Terkadang bukunya sendiri dibanting di meja dan menggerutu, ”Huh, sinau kok ora mlebu-mlebu.”[3]
Tentu saja, introversi Mgr. Leo ini mengundang potensial konflik dengan orang
lain. Suatu ketika ia ditegur oleh Menteri Agama karena saat rapat koordinasi
dengan presiden dan ulama, Mgr. Leo duduk dengan kedua belah tangan menyangga
rahang (Jw. sangga wang). Ia sedang
tidak nyaman dengan situasi rapat ini. Lain waktu, ketika ia bosan dengan
upacara dan pesta penahbisan uskup, ia mengajak teman dekatnya membakar sate.
Pesannya, “Wah bosen aku, pesta-pesta
wae. Ayo pada nyate. Mrenea. Nganggo Sarung wae” [4] Kalau ia senang sekali akan menjadi
relaks. Tetapi jika acaranya resmi, ia akan cenderung tegang sekali. Dalam
kesempatan santai, misalnya pada sat makan bersama di wisma, ia sangat ramah.
Ia sangat senang makan sayur lodeh, urap gudeg, dan buah-buahan. Selama makan,
ia banyak menceritakan hal lucu atau mengejek orang. Ia pun senang kalau
diledek kembali.
Jung berbicara mengenai fungsi psikologi manusia.
Ada empat fungsi psikologi fundamental. Ia membedakan antara thinking, feeling, sensing, dan intuitung. Mgr. Leo dapat dimasukkan
sebagai pribadi yang thinking. Ia adalah pribadi yang
berpikir dengan melibatkan ide dan intelek. Dengan berpikir, ia berusaha melihat hakikat
dunia dan dirinya sendiri. Ketika ia berhadapan dengan ia adalah seorang guru
yang lebih banyak bertanya daripada menggurui. Ia mengajak orang berpikir
analitis dan kritis. Ia ingin mendorong murid supaya menjadi seseorang yang
bermakna karena dirinya sendiri dan bisa mempertanggungjawabkan keberadaannya.
Pada waktu bersekolah di HIS di Yogyakarta, ia suka menyendiri sambil membaca
buku. Ia tidak suka bermain atau keluyuran ke rumah tetangga. Ia tidak begitu
suka dengan olah raga. Minatnya ialah aktivitas yang memakai otak, seperti
catur. Ia termasuk jarang menonton televisi. Tayangan yang dilihatnya ialah
siaran berita. Acara hiburannya ialah pentas lawak Srimulat dan serial Dokter
Sartika. Saat ia sudah terkena sakit punggung, dengan mengesampingkan
perasaan dan kondisi fisiknya ia tidak mau mengganti mobil. Diperlukan
perdebatan rumit supaya ia mau berganti mobil demi kesehatannya. Ia lebih
percaya kepada pikirannya bahwa
mobil masih pantas dipakai, bukan perasaan dan kenyataan bahwa sakit
punggungnya makin parah. Kepribadian thinking
nya yang mambuat ia meneruskan sekolah karena ingin bisa berbahasa Belanda.
Ia ingin bisa mengikuti pembicaraan kakak dan saudara-saudaranya yang fasih
berbahasa Belanda. Dengan kepribadian thinking
yang kuat ia tidak begitu mengalami kesulitan dalam studi dan bahkan akhirnya
menjadi Doktor Moral. Dengan kepribadian thinking
yang amat kuat pula ia selalu bicara dengan lurus, jujur, dan apa adanya,
bahkan oleh sementara orang dinilai kaku dan dingin. Ia melampaui apriori-apriori umat mengenai
bagaimana uskup seharusnya. Ia menciptakan karakternya bukan berdasarkan apa
yang harus ia perbuat melainkan apa yang ia percaya.
Konsistennya kepribadian Mgr. Leo ini dibawa dalam
masa sehat maupun sakit, saat masih muda maupun sudah tua. Ia menderita sakit Morbus Kahler[5] dan untuk jangka waktau yang lama harus
dirawat di RS Carolus. Ia masih mengadakan rapat dengan para stafnya dengan
cara berbaring. Ia masih saja marah-marah dan kurang sabar. Hingga ada angota
rapat yang menyeletuk, ”Meski sakit pun Uskup kita bisa marah. Memang, kalau
nggak marah namanya bukan Leo Soekoto.”
Pasangan antara Introvert dengan Thinking
ditandai dengan kecenderungan untuk tidak mudah percaya, kadang menderita
perasaan rendah riri, gampang cemburu, dan iri hati. Ia menghadapi dunia luar
dengan sistem pertahanan diri yang sistematis, tampak sebagai ilmuwan, cermat,
berhati-hati, menurut kata hati, sopan santun, dan penuh curiga. Orang ini akan
menekan emosi, kelihatan dingin, dan cenderung mengkritik sebagai jalan menuju
perkembangan hidup. Tipe ini ingin menegakkan kebenaran, idealisme, dan
kemudian menjadi sangat kompleks (rumit). Jika mau menyederhanakan
argumentasinya, maka pikiran-pikirannya akan dipahami dan diterima secara luas.
Tabel Tipologi Jung dalam pribadi Mgr. Leo
Soekoto
Sikap Jiwa
|
Fungsi Jiwa
|
Tipe
|
Ketidaksadarannya
|
Introvert
|
Pikiran
|
Introvert- Thinking
|
Ekstrovert- feeling
|
Berbicara mengenai Jung tidak bisa meningalkan
konsepnya mengenai arketip. Gagasan dasarnya ialah gabungan antara teleologi
dengan kausalitas. Tingkah laku manusia tidak hanya ditentukan oleh sejarah
individu dan dan ras tetapi juga oleh aspirasi dan tujuan hidup. Jung
mengatakan ”orang hidup dibimbing oleh tujuan-tujuan maupun sebab-sebab.”Juang
dengan demikian menekankan asal-susl kepribadian pada ras. Soekoto lahir dalam
masyarakat berbudaya Jawa yang kental di perbatasan Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta. Secara bawaan, ia mewarisi tipikal orang Jawa yang
menjaga nilai hormat, rukun, dan keselarasan. Konsep kepemimpinan diwarnai
dengan keselarasan dan keseimbangan. Maka, dalam kepemimpinan terasa ’alon-alon
waton kelakon’ tetapi mantap. Ia tenang dan tidak menggebu-gebu serta bisa
menyelesaikan permasalahan besar. Dalam karya penggembalaan, gaya dan gagasan
tulisan Mgr. Leo, misalnya dalam Surat Gembala Prapaskah, mengungkapkan nilai-nilai luhur yang
dijunjung masyarakat Jawa seperti kerukunan, tepa slira, perdamaian, dan sebagainya. Jung menyebut istilah
ketidaksadaran kolektif untuk membahasan mengenai bekas ingatan yang diwariskan
dari masa lampau leluhur. Masa lampau ini meliputi sejarah ras manusia dan bisa
dihidupkan kembali secara tidak sadar. Kerinduan orang-orang Jawa untuk
mengolah hal-hal batin, privat dengan cara semadi atau nenepi terwujud dalam
sikap Mgr. Leo yang suka bermenung, menyendiri, dan ke arah reflektif. Ia hidup
dan dibesarkan dalam masyarakat yang mengagumi hal-hal seperti ini karena tidak
jauh dari rumahnya terdapat bukit Mintorogo. Bukit itu seperti sudah dijelaskan
di depan dianggap bukit yang mistis atau keramat, tempat bertemunya sang
pencipta dengan Sang Ada.
Orang Jawa menjujung tinggi keluwesan. Akan
tetapi, Mgr. Leo oleh banyak orang dinilai kurang Njawani. Mgr. Leo tidak seperti orang Jawa, khususnya Jogja, yang
biasanya halus, luwes, dan tidak mudah terbuka. Rasionalitasnya seperti orang
Barat. Barangkali ini karena pengaruh pendidikannya luar negeri. Lingkungan
pendidikan di Belanda dan Roma diwarnai alam pikir rasional. Pendidikan
novisiat SJ di Girisonta pada masa pra-Vatikan II masih kental dengan aturan
kebiaraan, regula-regula yang ketat, bahasa setiap hari ialah bahasa Latin dan
Belanda. Apalagi ia mengalami pendidikan pada masa perang dan mengalami kamp internir. Sikap tegas dan siap
sedia membuat keputusan taktis dan strategis amat dibutuhkan karena situasi
benar-benar genting. Pembentukan kepribadian Mgr. Leo juga bisa dilihat dari
latar belakang keluarga, terutama ayah. Ayahynya sadar sebagai tokoh yang
dituakan oleh masyarakat, apalagi ia juga memahami ajaran gereja, maka ia harus
memegang teguh dan menjunjung tinggi norma-norma dan etika hidup yang baik.
Konsekuensinya ialah ia tidak bisa melihat, apalagi berkompromi dengan hal-hal
yang bertentangan dengan norma dan etika yang diyakini. Seorang Lurah haruslah
kuat dalam pandangan hidup dan konsistensinya. Memang, jabatan lurah pada
masyarakat Jawa tradisional bukan dalam arti politis-legal-rasional melainkan
jabatan kharismatis dan merupakan pengemban amanat seluruh warga. Berdasrkan
faktor pembentukan kepribadian di atas, Mgr. Leo kemudian mengenalnya sebagai
orang yang bicara tanpa tedeng
aling-aling dan kadang-kadang dengan nada tinggi. Gayanya itu perlu dibaca
sebagai kuatnya unsur rasionalitas Mgr. Leo. Kepribadian pemikir memang khas.
Ia cenderung melihat dalam cahaya akal budi dan logika. Dengan inteleknya (yang
biasanya tinggi), mereka akan menghargai hal yang masuk akal. Ia adalah orang
yang berani berdebat dan mengadu argumen. Ia suka menantang anak buahnya
berpikir dengan matang sebelum mengajukan usul. Ia tidak suka pada umat dan
anak buah yang bicara sembarangan, bertele-tele, atau yang berucap dahulu tanpa
berpikir. Karena dominan dalam perkara kognitif, maka mereka memandang emosi
mereka dan emosi orang lain sebagai hal yang kurang penting. Yang potensial
menimbulkan konflik ialah ketika keputusannya tidak memperhitungkan perasaan
orang lain dan memandang bahwa emosi lebih dipandang sebagai masalah daripada
bagian penyelesaian suatu perkara.
Ada kalanya ia ’keluar’ dari konsep-konsep umum
manusia Jawa. Dalam berhadapan dengan umat yang non Jawa, ia memakai cara yang
non Jawa: langsung dan terus terang. Ia pernah menegur karyawannya, ”Johan,
kami bukan seorang ahli teologi. Kau cuma seorang karyawan keuskupan” Jakarta
sebagai kota metropolitan berarti kota multirasial dan multiultural. Mgr. Leo
memimpin umat Jawa, Batak, Flores, Dayak, Ambon, manado, keturunan Tionghoa,.
Ini menuntut keterampilan atau manajemen yang tinggi dan memadai. Pembesar
Negara mengeluh mengenai sikap Mgr. Leo sebagai orang Jawa yang kurang Jawanya.
Pendekatan dengan cara Jawa saja membawa risiko bagi kepemimpinan Mgr. Leo. Ia
sendiri pernah mengungkapkan sendiri bahwa ia bukan saja kurang Jawanya, tetapi
uskup yang paling Flores di antara uskup Flores karena sikap keterbukaan, terus
terang, kerasa, dan kritis. Dapat juga dikatakan, bahwa ia bukan orang yang
sukuis, tidak mengagung-agungkan kesukuannya dan memandang rendah suku lain.
Hal ini menjadi modal kuat dalam karya pastoral. Dari sini kelihatan bahwa Mgr.
Leo dibawa oleh aspek teleologisnya, yakni yang memuat tujuan-tujuan dan
aspirasi-aspirasi. Ia
menunjung tinggi nilai objektivitas, pertimbangan matang, dan argumen yang
mendasar. Visi hidupnya bisa
dibaca dari motto kegembalaannya, scio
cui credidi (2 Tim 1:2)[6]. Dengan motto itu, ia memperjuangkan
nilai-nilai dari yang bersifat praktis, moralistis, sampai yang religius.
Macam-macam hal yang ia percayai secara kuat antara lain seperti Tuhan. Ia dibentuk dalam tradisi Ignatian
yaitu Latihan Rohani St. Ignatius. Pengalaman akan Allah yang kokoh dan mendalam turut berperan dalam cara ia
beriman dan hidup. Allah macam apa yang ia imani menentukan apa dan bagaimana
ia bersikap. Selain itu ia percaya akan
apa yang ia pelajari dalam bidang hukum moral. Sebagai pemegang ajaran moral,
maka ia mesti tegas, jernih, dan tajam dalam melihat persoalan. Mengajarkan
moral adalah mengajarkan kepastian di tengah ketidakpastian, mencari kejernihan
di dalam Hal serupa kita jumpai pada Joseph Cardinal Ratzinger ketika ia
menjadi praefek Kongregasi Ajaran Iman. Mempertahankan iman dan moral tentu
tidak bisa dilakukan dengan santai-santai saja. Dari beberapa uraian di atas,
tampak ada tegangan antara aspek kausalitas yang dicitrakan bahwa orang Jawa
itu harus sabar, lemah lembut, dan tidak suka terus terang. Tegangan ini
menandakan bahwa kepribadian manusia itu khas, unik, dan berkembang dinamis
seturut apa yang dibawanya dan yang hendak dicapainya. Jung mengatakan bahwa
arketip tidak harus terpisah dari satu dengan yang lain. Ada kalanya mereka
saling meresapi dan berfusi. Dalam filsafat Yunani, konsep arketip Jung dapat
dibandingkan dengan gagasan Plato mengenai ”idea.” Ada idea kepahlawanan yang berciri rela
berkorban, berani, gigih, berjiwa kepemimpinan, dan setia pada kebenaran dalam
diri Mgr. Leo. Ada pula idea kependetaan yang
terwujud dalam sikapnya sebagai gembala umat, pemimpin jemaat, pribadi yang
memiliki sikap arif dan bijaksana.
Apa yang diuraikan di atas merupakan penjabaran
dari gagasan ketidaksadaran kolektif Jung. Arketip berada dalam ketidaksadaran
ini. Jung memberikan penjelasan bahwa arketip ini merupakan bentuk pendapat dan
reaksi instingtif terhadap situasi tertentu di luar kesadaran. Arketip ada
sejak lahir dan tumbuh pada ketidaksadaran kolektif. Arketip ini menjadi pusat
serta medan tenaga dari ketidaksadaran manusia. Arketip bisa dikembangkan lebih luas yakni tentang
kelahiran, kematian, Tuhan, kekuasaan, kepahlawanan, dan lain-lain. Beberapa arketip yang dominan seakan terpisah dari kumpulan arketip lainnya dan membentuk satu
sistem sendiri. Arketip dominan
terdiri dari persona, anima-animus, shadow, dan self.
Perkembangan
diri manusia dalam masyarakat membawanya pada kompromi antara dirinya sendiri
dengan apa yang diharapkan/ dituntut oleh masyarakatnya. Di tengahnya terdapat
pembentukan persona. Persona[7] adalah topeng yang dipakai manusia
sebagai respon terhadap tuntutan-tuntutan kebiasaan dan tradisi masyarakat,
serta terhadap kebutuhan-kebutuhan arketip sendiri. Manusia diajak bermain
peran ibarat memainkan peran tertentu dalam teater sebagaimana dituntut
sutradara. Meski berbeda/ berlawanan dengan apa yang dikehendaki oleh pribadi
itu, tetapi orang memandang persona sebagai sebuah kebutuhan. Sebab, dengan
persona itu kita berhubungan dengan dunia. Tujuan persona adalah menciptakan
kesan tertentu pada orang lain dan seringkali (meski tidak selalu) untuk
menyembunyikan hakikat sang pribadi yang sebenarnya. Tuntutan sosial yang
dikenakan umat kepada Mgr. Leo sebagai imam kemudian uskup ada yang
berseberangan dengan Mgr. Leo. Peran gembala umat mengharuskan ia bertemu dan bekerja dengan aneka macam
orang. Ada banyak publik menantinya, sementara ia orang yang cenderung tertuju
kepada dirinya sendiri. Padahal karakteristik introvert ialah semakin banyak
orang semakin banyak daya tolaknya. Sebagai imam, ia mesti membawakan figur pater, pastor, imam, bapa, romo,
yang dalam konsep masyarakat cenderung diasosiasikan dengan kebapakan, arif,
komunikatif. Mgr. Leo mengenakan personanya sebagai hubungannya dengan dunia
yang dilayaninya.
Anima-animus merupakan
elemen kepribadian yang secara psikologis berpengaruh terhadap sifat biseksual
manusia dan memungkinkan berhubungan dengan lawan jenis. Anima adalah arketip sifat
kewanitaan (feminin) pada laki-laki sedangkan
animus adalah arketip sifat
kelelakian (maskulin) pada perempuan. Anima-animus berkedudukan sebagai
perantara aku dengan dunia dalam. Makin kaku persona, makin rendah diferensiasi
anima dan animus. Karena hidup bersama dengan wanita selama berabad-abad,
maka pria menjadi lebih feminim. Dalam kepribadian Mgr. Leo, kita bisa melihat
bagaimana ia sebagai gembala umat menunjukkan ciri-ciri feminimnya. Relasi
dengan ibu-ibu Marriage Encounter (ME)
dan Wanita Katolik (WK) yang dilayaninya menjadi lebih mudah karena ia
menghidupi anima-nya. Terjadi kompromi dalam dirinya antara tuntutan-tuntutan
ketidaksadaran kolektif dan aktualitas dunia luar agar terjadi penyesuaian yang
baik. Rm. Th. Prajitno SJ memberi kesaksian bahwa dengan ME ada perubahan dalam
diri Mgr. Leo. Paling tidak, ia menjadi semakin tidak kaku dan berusaha
memahami berbagai persoalan yang
muncul dalam keluarga.[8]
Tidak
sepenuhnya manusia hidup dalam kebaikan. Ada sisi kekurangan yang tidak
disadari oleh manusia. Shadow (bayang-bayang) adalah arketip
yang terdiri dari insting-insting binatang yang diwarisi manusia dalam
evolusinya dari bentuk-bentuk kehidupan yang lebih rendah ke bentuk yang lebih
tinggi. Manusia sebagai animal rationale¸
masih mewarisi perilaku agresivitas. Dengan berkembangnya budi, maka
agresivitas berkembang ke arah yang lebih tertata. Mgr. Leo adalah seorang
dengan kepribadian yang keras dan ’agresif’. Agresivitasnya nampak dalam masa
kecilnya yang nakal, mengganggui teman, suka mendominasi dan memerintah, hendak
memukul orang, dan sikapnya yang suka berdebat. Dengan berkembangnya
intelektualitasnya, ia mengarahkan insting warisan ini dengan keberaniannya dan
ketajamannya dalam mengkritik atau berpendapat.
Ada saat dimana kepribadian manusia menjadi
stabil. Sebagaimana diketahui bahwa ciri utama psikologi Jung adalah perkembangan
ke arah yang stabil. Biasanya ini diperoleh ketika manusia sudah memasuki usia
setengah baya. Dengan self
kepribadian manusia menjadi terintegrasi, seimbang, dan stabil. Self adalah
tujuan hidup, tujuan yang terus-menerus diperjuangkan seorang manusia tetapi
jarang tercapai. Pengalaman-pengalaman religius sejati merupakan bentuk
pengalaman yang paling dekat dengan self
. Pada masa setelah setengah baya, orang mulai berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk mengubah pusat kepribadiannya dari ego sadar ke ego yang berada di antara
kesadaran dan ketidaksadaran. Hal ini yang dirasakan oleh sementara umat,
berdasarkan kesaksian-kesaksian mengenai Mgr. Leo. Ia mampu berada di antara
umat dengan luwes; berada di antara tuntutan hierarkis-fungsional-sosial dengan
ke-diri-annya. Mgr. Leo menerima keadaannya yang suka kesendirian dan mau
berdamai dengan tuntutan publik. Oleh Jung, integrasi ini bisa disebabkan
karena latar belakang spiritual. Dalam tahap kehidupan menurut Jung, usia
setengah baya adalah waktu untuk merealisasikan diri. Ada keutuhan diri setelah
kenyang dengan aneka macam ’eksplorasi.’ Dalam arti tertentu, kepribadian sudah
menjadi mantap, kokoh. Dari pihak luar, hal ini kelihatan dari nilai-nilai dan
aspirasi yang diperjuangkan Mgr. Leo dapat diterima oleh umat. Ada apresiasi umat
terhadap pencarian dan pertumbuhan Mgr. Leo sebagai pribadi. Motto scio cui credidi akhirnya juga
diletakkan oleh Mgr. Leo dalam kepercayaannya terhadap umat. Ada gerak bersama
dan sinergis untuk membangun Keuskupan Agung Jakarta dan menjadikannya sebagai
Kerajaan Allah di dunia. Umat dilihat sebagai representasi Allah, ciptaan Allah
yang mesti dibawa kepada tujuan paripurna yang tertinggi, yakni mengabdi,
memuji, dan memuliakan Tuhan.
Pribadi manusia berkembang menurut tujuan dan
sejarah hidupnya. Mgr. Leo sebagai pribadi tidak lepas dari kekurangan dan
kelebihan. Pemahaman setengah-setengah atau sebatas kesan saja tidak membantu
kita untuk mengenalnya. Sebagai manusia, Mgr. Leo tidak serta merta jadi
(tercapainya finalitas pembentukan). Dalam diri Mgr. Leo terdapat perkembangan
ke arah kepenuhan dan kematangan kepribadian, yaitu dalam individuasinya.
Tulisan dan komentar yang dibuat untuknya menyiratkan bahwa ia adalah orang
yang berproses dan membuat orang lain turut berproses. Umat mulai menangkap
unsur formatif dalam ucapan dan tindakannya. Proses menuju integralnya
kepribadian itu unik.
Scio
cui credidi, aku tahu
kepada siapa aku percaya. Motto
ini menjadi filosofi yang terus dihidupinya. Jika ditafsirkan, salah satu
kepercayaan itu ialah kepercayaan terhadap kepenuhan individu (diri, self) nya. Seorang gembala umat adalah
orang yang menaruh kepercayaan, baik kepada Tuhan, umat yang dilayani, maupun
dirinya sendiri. Analisis
dari Jung di sini dapat dibaca sebagai bagaimana proses seseorang menjadi
dirinya sendiri. Tulisan
singkat ini kiranya dapat menyumbang pemahaman lebih mendalam bagi siapa saja
yang berminat mengenal kepribadian Mgr. Leo Soekoto SJ, seorang putra desa yang
menjadi ’singa’ KAJ.
[1] Soekoto kecil dengan nama Soekarto
mengalami rabun senja dan sering sakit-sakitan. Ia mengalami upacara membuang
sial dengan cara dikukus dengan api dari seikat merang ketan hitam. Ia diangkat
dan dimasukan dalam kurungan ayam dan kepalanya diserempetkan dengan ulek-ulek. Sakitnya pun lantas hilang.
[2] Terjemahan Indonesia ”Hayo! Bicara apa
kamu?”
[3] Terjemahan Indonesia “Huh, sudah belajar
kok tidak paham juga.”
[4] Terjemahan Indonesia. “ Ah. Saya bosan
sekali. Dari tadi acaranya
pesta melulu. Mari kita bakar
sate saja. Datanglah ke sini. Pakai sarung saja.”
[5] Morbus Kahler atau Multiple myeloma yang disebut juga plasmacytoma
adalah degenerasi ganas dari plasma sel. Reproduksi dari sel-sel di sumsum
tulang mendapat dari kontrol. Penderita akan merasa kesakitan untuk duduk atau
berdiri.
[6] Aku tahu kepada siapa aku percaya. Motto
ini menandakan pentingnya iman kepercayaan bukan hanya kepada orang atau
penguasa duniawi, tetapi lebih-lebih kepada Allah sendiri.
[7] Persona dari bahasa Latin yang artinya
topeng yang dipakai pada masa Romawi dalam permainan drama. Barat telanjur
menyempitkan makna persona menjadi manusia perseorangan, tetapi jung memakai
persona sesuai dengan makna kata aslinya.
[8] Salah seorang ibu memberi kesaksian
mengenai kemurahan dan kelembutan hati Mgr. Leo atas kesalahan penyelenggaraan
program WKRI. Ibu itu sudah siap kalau-kalau dimarahi habis-habisan, akan
tetaapi Mgr. Leo menjawab, ”Sudah, ibu tidak usah khawatir, saya sudah makan
sesampai di jakarta dan saya segar bugar, untuk membahagiakan 4000 orang tentu
harus ada pengorbanan, ya saya ini kurbannya.”
Sejarah Singkat SD Kanisius Kerten
Dimulai dari Gayamprit Dalem sekolah rakyat ditumbuh kembangkan.
Pada tanggal 1 Juni 1935 , sekolah rakyat ini dipindahkan dari Gayamprit ke
Kerten menempati rumah bapak Wongso Diharjo untuk selanjutnya pindah ke
Gunungwungkal di rumah bapak Y.
Mangunrejo dan akhirnya menempati sebuah
lahan dan menjadi sekolah yang kita kenal sebagai SD Kanisius Kerten.
Dalam Hal ini Bapak Wongso Diharjo, Bapak Y. Mangunrejo adalah sosok pemerhati pendidikan.Mulai dari tempat inilah SD Kanisius berkembang hingga saat ini masih tetap bisa eksis meski ada beberapa kendala finansial namun semangat Juang Bapak Ibu Guru tidak pernah surut dalam membimbing Anak - anak bangsa untuk melahirkan tokoh - tokoh baru pemimpin bangsa yang berkarakter.
Dalam Hal ini Bapak Wongso Diharjo, Bapak Y. Mangunrejo adalah sosok pemerhati pendidikan.Mulai dari tempat inilah SD Kanisius berkembang hingga saat ini masih tetap bisa eksis meski ada beberapa kendala finansial namun semangat Juang Bapak Ibu Guru tidak pernah surut dalam membimbing Anak - anak bangsa untuk melahirkan tokoh - tokoh baru pemimpin bangsa yang berkarakter.
Langganan:
Postingan (Atom)